Kata Dayak
berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan
masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya
dan Kalimantan Barat.
Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini
belum ada yang betul-betul memuaskan। Namun, pendapat yang diterima
umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli
terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993:
231)। Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi
penduduk ke Kalimantan। Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai
bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):
Semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara
besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan
daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di
Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo
China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki
pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih
batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina.
Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman
es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu
kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan
pulau-pulau itu.
Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu
mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun
sebelah ke darat। Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan
Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu
lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau
Kalimantan
Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa
suku bangsa Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama
ada dalam bahasa maupun dalam ciri-ciri budaya mereka
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu
Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan। Keenam
rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun
terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas। Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok
Dayak। Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material
seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan
terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.
Kalimantan
adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya
pulau ini tidak hanya merupakan "daerah asal" orang Dayak semata
karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu.
Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya
menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain,
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis
dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya.
Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas
Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata
ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau
selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang
(kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap
memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu
seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan
upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau
kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses
pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam
tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad
ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang
digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian
digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati
karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau
tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah,
yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta
senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Bagian Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk
pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh
yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya
diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan
tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat
mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil
dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain
sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat
dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan
tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau
jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah
mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk
memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu
ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi
bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar
memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan
secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang
diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat
hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang
pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada
sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau
tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau,
yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga
mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau
dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai
kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif
seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang
ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia.
Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal
mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis.
Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah
dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan,
biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik
dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi
dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada
sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan
mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung
nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu
antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat
sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya
yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai
tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan
sarat makna.
Suku Dayak
adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di
pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya
diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak,
sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak
adalah "Menteng Ueh Mamut", yang berarti seseorang yang memiliki
kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang
merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras
mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan
dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan
"Muller-Schwaner". Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.
Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka
datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa
kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di
seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus
menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang
masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa",
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971).
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam
dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain
lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang
Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
sebenarnya adalah seorang Dayak (Maanyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke
Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan
pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji
disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin.
Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era
Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk
Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring
malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad
XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke
Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya
candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan
guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih
terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman
dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat
istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari
pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara
yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal
ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah
kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal
dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini
sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan
diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual,
tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang
tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu
merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula
orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal
). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta
damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah
Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para
leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti
akan ditemukan.
Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah
beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar.
Panglima" atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan
isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari
kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari
banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa
saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa.
Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari
apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang
panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang
tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan
merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber
Tariu" ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya
labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia
dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan
dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan
manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis
akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin
sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat
dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk
menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi
jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang
mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa
diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus)
untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang
persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan
dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika
perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang
Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak
terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak
muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan
Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang
disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak
kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi
lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek
moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini
dengan Palangka Bulau" ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan
ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan
dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang" ).
Terima Kasih Pahari Sudah share sepengal pengetahuan buat orang banyak. Semoga bermafaat
BalasHapus